Gorontalo,(gribnewstvlampung@gmail.com )-Ketegangan terkait sengketa lahan pembangunan proyek strategis Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) di Kelurahan Leato Selatan, Kota Gorontalo, kembali memuncak. Rony Sidiki, salah satu ahli waris yang mengklaim kepemilikan lahan tersebut, mengonfirmasi telah melakukan aksi penutupan kedua kalinya di lokasi proyek pada Sabtu pagi (8/11) sekitar pukul 08.00 WITA.
Aksi penutupan ini dipicu oleh kekecewaan ahli waris terhadap minimnya respons dan kejelasan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Gorontalo. Menurut Rony Sidiki, penutupan ini adalah tindak lanjut dari aksi sebelumnya yang telah diberikan tenggat waktu selama kurang lebih satu bulan, namun tidak ada pertemuan maupun itikad baik yang ditunjukkan oleh Pemkot.
"Saya berikan waktu sebulan lebih kurang, tidak ada lagi pertemuan untuk penjelasan dari Pemkot Kota. Maka saya bikin penutupan ke-2," ungkap Roni Sidiki dalam keterangannya, Senin (10/11).
Roni Sidiki menegaskan bahwa penutupan dilakukan karena tidak adanya etika baik dari pemerintah daerah. Selain sebagai salah satu ahli waris, Roni sendiri diberikan kuasa penuh oleh keluarga ahli waris untuk mengurus dan mengawasi sengketa tanah tersebut.
Klaim ahli waris dikuatkan oleh dokumen lama yang diyakini sah. Sertifikat milik Roni yang diterbitkan tahun 1914 sempat bergejolak sekitar tahun 2016. Namun, ia menjelaskan bahwa sertifikat tersebut memiliki materai Rp 6.000 dan pengesahan dari pengadilan (sebelum adanya BPN) serta stempel kantor pos. "Artinya sertifikat sah," tegasnya.
Dalam perdebatan di lokasi, pihak Pemkot sempat mengklaim memiliki surat kepemilikan, namun klaim tersebut langsung dipertanyakan Roni Sidiki.
"Mereka menjelaskan bahwa mereka punya surat. Saya bilang kalau punya surat, dasarnya kalian menerbitkan sertifikat dasarnya apa? Sebab surat itu aslinya ada ke kami, tahunnya aja saya bilang dari tahun 1914," ujarnya.
Roni secara konsisten mempertanyakan legalitas sertifikat yang diklaim Pemkot. Secara historis, ia menyebut bahwa lahan tersebut pada awalnya diterbitkan sertifikat hak pakai nomor 10 tahun 1992 untuk pembangunan terminal yang dilakukan tanpa adanya pembebasan lahan. Setelah terminal ditutup, tiba-tiba proyek KNMP muncul di lokasi yang sama.
Ahli waris dan masyarakat setempat merasa pembangunan KNMP di lokasi tersebut merupakan penyerobotan karena tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi dari Pemkot Gorontalo.
"Masyarakat Kecewa karena tidak adanya sosialisasi/pemberitahuan dari Pemkot untuk dilakukan pembangunan di wilayah tersebut. Jadi masyarakat merasa ada penyerobotan dari Pemkot," tambah Roni.
Roni Sidiki menjelaskan, penutupan kali ini dilakukan tanpa ada adu fisik, melainkan hanya adu argumen di lapangan. Ia menegaskan bahwa aksi tersebut murni dilakukan atas nama ahli waris dan keluarga, tanpa atribut organisasi manapun, termasuk GRIB JAYA yang sempat ia gunakan sebelumnya.
Sengketa lahan ini telah menarik
perhatian hingga ke tingkat pusat. Diketahui, Tim Mabes Polri sempat turun ke lokasi atas arahan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) pada awal bulan November 2025.
Namun, yang menjadi sorotan adalah ketidakhadiran pimpinan daerah.
"Selama di sana, Pak Walikota gak muncul karena gak ada ormas yang disalahkan atau dikambinghitamkan," ungkap dia.
Secara historis, penutupan proyek di lahan sengketa ini sudah terjadi sebanyak tiga kali. Sidiki mencatat penutupan pertama terjadi pada tahun 2016, dan dua penutupan sisanya dilakukan pada tahun 2025 ini. Ia menekankan bahwa ia berani mengambil langkah penutupan karena memiliki dasar hukum yang kuat.
"Saya beranikan diri untuk dari ahli waris dengan keluarga juga saya kemarin akan saya bikin penutupan ke-3 (total penutupan sejak 2016). Besok lagi kami jaga, jangan ada kegiatan seperti itu," tutup Roni Sidiki.
"Tim"
Tidak ada komentar:
Tulis komentar